Analisis puisi “Kutukan Asu” oleh Sindhunata


Kata-kata asu (kotor) dan kata-kata suci dalam Sindhunata merupakan penumpahan atau pengekspresian penulis terhadap situasi sosial dalam masyarakat. Mengingat Sindhunata adalah seorang pendeta katolik, dimana menurut pandangan historiknya pada zaman kekuasaan Katolik di Eropa, gereja-gereja bukan hanya pengontrol dan pengatur keagamaan, tetapi juga merupakan pemerintah yang membuat undang-undang Negara termasuk politik. “…sebuah sajak baru dapat dimengerti secara tuntas bila kita dapat mengandalkan segala informasi biografik mengenai penyairnya” (Luxemburg, 1989: 178)
            Dalam puisi tersebut, terdapat juga kata-kata dalam bait yang merupakan bentuk antitesis dari puisi Chairil Anwar berjudul “Aku”. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sindhunata berusaha mengekspresikan kembali lewat puisi yang juga terdapat dalam puisi Chairil Anwar.
            Dalam puisi tersebut, Sindhunata juga menggunakan perumpamaan dan juga penokohan dalam pewayangan seperti dalam “Dayang Sumbi”, Mendhut, dan lain-lain. Dalam bait karya Sindhunata merupakan perepresentasian pada sastra perbandingan. “Cerita-cerita rakyat dan migrasinya serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih mistik…” (Wellek & Warren, 1995: 47-48)Sastra menyebarkan tempat atau nama-nama tempat bertemu dalam imajinasinya yang juga terdapat atau mengacu pada tempat dimana sang penulis hidup di dalamnya. Seperti yang terlihat dari “Joktang” sebuah kota di Jawa Tengah.
            Sedangkan dalam penyebutan kata-kata sumpah serapah hingga ke doa. Dapat diartikan atau diinterpretasikan bahwa Sindhunata juga mengalami apa yang dinamakan, gejolak batin sehingga penulis juga menghina dirinya sendiri dengan sebutan “Asu!“ sebagai “khewan omahan“.
            “....Sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup“ (Wellek and Warren, 1995: 110). Perumpamaan dari pengalaman serta perasaan Sindhunata “kutukan asu“ menggambarkan atau melukiskan tentang kehidupan atau pengalaman hidup yang pedih. Namun, walaupun penulis menganggap dirinya sebagai asu atau khewan omahan, dia masih memiliki kesetiaan pada majikannya. Hal demikian masih jauh lebih baik dimana pada dasarnya sifat manusia itu dalam masyarakat sesungguhnya lebih biadab daripada binatang, seperti yang digambarkan atau ditekankan pada sumpah serapah Sindhunata atau juga manusia yang korup, sehingga membuat orang lain sengsara dan menderita. Oleh karena itu, kata “Asu!“ sangatlah tepat jika ditujukan kepada “manusia-manusia biadab“.

Referensi
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal. Willem G weststeijn. 1989. Pengantar ilmu sastra. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1995. Teori Kesustraan. Jakarta: Gramedia.

Komentar

Postingan Populer