Ragam Bahasa Perempuan dan Laki-laki dipandang dari sudut Puisi


BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Bahasa secara umum dan nyata dibutuhkan oleh manusia di seluruh dunia. Tanpa bahasa,  mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Bahasa merepresentasikan pikiran, perasaan, dan emosi seseorang. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan masyarakat di samping keberadaannya sebagai makhluk individu. Oleh karena itu, manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat untuk memelihara dan menciptakan hubungan yang baik satu sama lain.
Komunikasi yang dilakukan oleh masing-masing individu memiliki ciri khas yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya keheterogenan individu dalam masyarakat, baik usia, status, topik, setting, maupun jenis kelamin turut memengaruhi adanya perbedaan ragam bahasa tersebut. Banyak hal yang memengaruhi penggunaan bahasa manusia, salah satunya adalah aspek gender sehingga terdapat perbedaan ragam antara bahasa perempuan dan bahasa laki-laki dalam karakteristiknya. Laki-laki dan perempuan berbeda dalam merepresentasikan dirinya. Hal ini tampak dalam cara mereka mengekspresikan emosi dalam pemilihan kata-kata ketika menulis puisi. Laki-laki memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan emosi demikian pula wanita.
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan representasi ide penyairnya yang dituangkan dalam bentuk bahasa. Tentu saja perempuan penyair dan laki-laki penyair menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengungkapkan idenya. Untuk dapat memahami pemilihan kata yang digunakan perempuan penyair dan laki-laki penyair maka disajikan data berupa empat puisi dengan masing-masing dua tema yang sama yaitu tema Personal Belief (kepercayaan pribadi) dengam judul puisi God’s World oleh Edna St. Vincent (penyair perempuan dan puisi All but Blind oleh Walter de la Mare (penyair laki-laki); dan tema Young people (pemuda-pemudi) dengan judul puisi How Do i Love Thee? oleh Elizabeth Barret Browning dan puisi A Red, Red Rose oleh Robert Burns. Diharapkan dengan pemilihan dua tema yang berbeda antara puisi perempuan dan laki-laki, akan ada perbandingan yang mencolok yang bisa ditemukan di dalam membandingkan bahasa yang digunakan oleh oerempuan dan bahasa yang digunakan oleh laki-laki.

1.2  Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, fokus penelitian dalam makalah ini adalah pembahasan tentang perbedaan ragam bahasa perempuan dan laki-laki yang diambil dari empat puisi dengan masing-masing dua tema yang sama yaitu tema Personal Belief (kepercayaan pribadi) dengam judul puisi God’s World oleh Edna St. Vincent (penyair perempuan dan puisi All but Blind oleh Walter de la Mare (penyair laki-laki); dan tema Young people (pemuda-pemudi) dengan judul puisi How Do i Love Thee? oleh Elizabeth Barret Browning dan puisi A Red, Red Rose oleh Robert Burns.

1.3 Tujuan
Berdasarkan fokus penelitian di atas maka tujuan makalah ini adalah mendeskripsikan perbedaan ragam bahasa perempuan dan laki-laki yang diambil dari empat puisi dengan masing-masing dua tema yang sama yaitu tema Personal Belief (kepercayaan pribadi) dengam judul puisi God’s World oleh Edna St. Vincent (penyair perempuan dan puisi All but Blind oleh Walter de la Mare (penyair laki-laki); dan tema Young people (pemuda-pemudi) dengan judul puisi How Do i Love Thee? oleh Elizabeth Barret Browning dan puisi A Red, Red Rose oleh Robert Burns.



1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
            Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah pengetahuan hubungan sosiolinguistik khususnya ragam bahasa dan sastra khususnya puisi.  Data yang diambil dari penelitian ini adalah puisi yang ditulis oleh perempuan dan laki-laki. Ragam bahasa perempuan dan laki-laki selain tampak dalam percakapan, juga tampak dalam tulisan. Bahasa yang dimiliki laki-laki dan perempuan dapat diamati dalam tulisan berdasarkan ciri-ciri bahasa perempuan dalam teori sosiolinguistik.

1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis diharapkan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a.       Memperkaya kajian sosiolinguistik, terutama kajian ragam bahasa dalam karya sastra.
b.      Memberikan pengetahuan terhadap ciri-ciri bahasa perempuan dan bahasa laki-laki.
c.       Memberikan pengetahuan terhadap tulisan puisi yang ditulis perempuan dan laki-laki sesuai dengan ciri-ciri bahasa perempuan dan laki-laki.













BAB II
LANDASAN TEORI



2.1 Sosiolinguistik
               Apa yang dipelajari Holmes tentang sosiolinguistik (1992: 1) adalah, ”...study the relationship between language and society” (mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat). Dalam hal ini sosiolinguistik mempelajari bahasa di dalam masyarakat sebagai jalan menyampaikan maksud sosial.
Setiap manusia memiliki karakteristik dalam berbahasa. Sehingga manusia satu berbeda dengan manusia lain dalam berbahasa. Hal ini akan menimbulkan ragam dalam bahasa.

2.2 Genderlek
Ragam bahasa erat pula kaitannya dengan gender. Gender merupakan pengamatan dari segi partisipan. Gender merupakan aspek yang menentukan gaya bahasa seseorang. Seperti salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Holmes (ibid, 164), ”Do women and men speak differently?” (apakah perempuan dan laki-laki berbicara dengan cara yang berbeda?). Bentuk bahasa yang digunakan oleh perempuan maupun laki-laki adalah berlawanan. Perempuan lebih sopan dalam berbahasa dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut sebagai contoh bahwa perempuan dan laki-laki memiliki fungsi tuturan yang berbeda.
Sama halnya dengan Coates (1986:4) menyatakan gender merupakan istilah yang lebih akurat daripada sekadar membedakan sesuatu berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin (sex) mengacu perbedaan biologis, sedangkan gender digunakan untuk mendeskripsikan kategori konstruksi sosiologis berdasarkan jenis kelamin. Masyarakat secara umum membagi gender dalam kategori laki-laki (male) dan perempuan (female). Gender juga digunakan dalam kategori kata secara gramatikal dalam linguistik—terdapat kata benda yang digolongkan dalam kelas kata feminin (feminine) dan maskulin (masculine). Poynton (1989:4) secara lebih terperinci menyatakan bahwa jenis kelamin dibedakan menjadi female dan male sedangkan gender dibedakan menjadi feminine dan masculine.
Gender sebagai bentuk kreasi sosial, menurut Poynton (1989:4), harus mampu menemukan bukti terdapatnya keterlibatan aspek sosial termasuk proses kreatif yang terdapat dalam masyarakat. Secara khusus dalam bahasa, harus juga ditemukan bukti linguistik yang menunjukkan bahasa sebagai alat utama untuk mengkreasikan kategori perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki yang terkait dengan perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah mendapat perlakuan sejak mereka lahir.
Dengan demikian, analisis genderlek dalam puisi merupakan bentuk kajian terhadap perbedaan penggunaan bahasa perempuan dan yang dihubungkan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat atau dalam kehidupan sosial.

2.3 Ciri-ciri bahasa perempuan dan bahasa laki-laki
Berdasarkan Lakoff (Coates, 1986: 112-113; dan Holmes, 1992: 314), terdapat 10 ciri-ciri bahasa perempuan:
1.      Lexical hedges or fillers. E.g. you know, sort of, well, you see, kind of, I guess;
2.      (Super) polite forms e.g. would you please...,I’d really appreciate it if, indirect requests, euphemisms;
3.      Tag questions, e.g. she’s very nice, isn’t she?;
4.      Intensifiers such as just and so, e.g. consistent use of standard verb forms;
5.      Empty adjectives, e.g. divine, charming, sweet, adorable, cute;
6.      Avoidance of strong swear words, e.g. judge, my goodness;
7.      Lack of a sense of humour e.g. poor at telling jokes;
8.      Emphatic stress, e.g. it was a BRILLIANT performance;
9.      Special vocabulary, e.g. specialized colour terms, e.g. magenta, aquamarine;
10.  Rising intonation in declaratives, e.g. it’s really good.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, Lakoff menyusun ciri-ciri bahasa wanita secara rinci. Dengan itu bisa diketahui bahwa ciri-ciri bahasa laki-laki merupakan kebalikan dari ciri-ciri bahasa perempuan. Perempuan menggunakan lebih banyak tag questions dibandingkan dengan pria. Penggunaan kata so lebih sering diucapkan perempuan daripada laki-laki. Bahasa perempuan cenderung pada bentuk baku, sedangkan laki-laki sering menggunakan bentuk tidak baku. Lakoff juga menyatakan bahwa laki-laki lebih menggunakan umpatan (damn, shit) dibandingkan perempuan (oh, dear; goodness). Jadi, bisa dikatakan bahwa bahasa perempuan lebih sopan sesuai dengan sifat perempuan yang lebih halus tutur bahasanya.

2.4 Puisi
Puisi merupakan salah satu karya sastra imajinatif di samping prosa dan drama, mengenai ungkapan perasaan manusia dan perilaku manusia. Dalam penciptaannya, puisi atau karya sastra yang lain mengungkapkan hasil pengalaman manusia kepada pembaca agar bisa dirasakan secara emosional dan pandai.
Menurut Waluyo (2005: 1) puisi adalah salah satu karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata tersebut dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Sedangkan menurut McCaulay dalam Aminuddin (2000:134) puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi.
Dari dua pendapat di atas dapat kita lihat bahwa bahasa dalam puisi menjadi unsur penting dalam puisi. Puisi mementingkan pilihan kata atau diksinya. Bila berbicara tentang pilihan kata dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang rima dan irama. Rima adalah bunyi yang berselang/berulang baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi. Sedangkan irama adalah paduan bunyi yang menimbulkan unsur-unsur musikalitas. Sehubungan dengan rima dan irama penyair dituntut untuk dapat memilih kata-kata yang sesuai yang bisa mewakili idenya dan tentu saja memiliki rima dan irama yang indah.
Cassier (1990:4) menyatakan pada dasarnya bahasa manusia adalah bahasa emotif. Manusia selalu berusaha agar setiap ungkapannya mampu mewakili emosi yang terdapat dalam dirinya. Jadi kita bisa melihat gejolak jiwa penyair dari bahasa yang diproduksinya.
Terdapat tiga majas yang biasanya digunakan dalam puisi (Kirkpatrick & Goodfellow, 1968: 9), yaitu:
  1. Simile: perbandingan suatu hal dengan yang lain dan memberikan tekanan dan pernyataan warna, seperti “He hits the line like a bulldozer”, atau “He ran as fast as lightning.” Simile menggunakan kata like atau as sebagai perbandingan.
  2. Metafora: merupakan perbandingan, tanpa menggunakan kata like atau as sebagai kata pembanding. Misalnya, “He was a tiger on defense” dan “She was a jewel.”
  3. Personifikasi: memberi kualitas manusia pada benda atau ide pikiran. Misalnya, “The sun watched the children playing” atau “The wind screamed and growled through the night.” Matahari tidak melihat atau angin tidak berteriak, tapi hasil imajinasi semacam itu memberikan gambaran yang lebih hidup.













BAB III
METODE PENELITIAN



1.4.1 Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menitikberatkan pada studi pustaka karena data yang diambil berasal dari data tertulis. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005: 4), mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

1.4.2 Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat puisi dengan masing-masing dua tema yang sama yaitu tema Personal Belief (kepercayaan pribadi) dengam judul puisi God’s World oleh Edna St. Vincent (penyair perempuan dan puisi All but Blind oleh Walter de la Mare (penyair laki-laki); dan tema Young people (pemuda-pemudi) dengan judul puisi How Do i Love Thee? oleh Elizabeth Barret Browning dan puisi A Red, Red Rose oleh Robert Burns.

1.4.3 Teknik pengambilan data
Puisi sebagai sumber data mengambil diksi/pilihan kata sebagai pembanding ciri-ciri bahasa yang dipakai oleh perempuan dan laki-laki yang sesungguhnya memiliki perbedaan. Namun isi yang dipakai oleh keduanya sesungguhnya memiliki konteks yang sama. Dalam hal ini terdapat dua tema yang berbeda yang mana masing-masing mewakili puisi oleh penyair perempuan dan penyair laki-laki.



III. Pembahasan
Untuk lebih memahami konsep perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan, berikut ini akan dianalisis puisi berjudul “God’s World” oleh Edna St. Vincent Millay dan “All but Blind” oleh Walter De La Mare yang diambil dalam kumpulan puisi “Poetry with Pleasure” oleh Kirkpatrick dan Goodfellow (1968). Dalam puisi “God’s World,” Millay menulis tentang pemujaannya terhadap alam yang diungkapkan sebagai hamba Tuhan yang memiliki kerendahan akan keagunganNya. Ini merupakan puisi modern bahwa alam berpengaruh besar atas manusia. Puisi ini menggambarkan suasana hati yang dialami oleh Millay pada musim gugur yang dia rasakan saat menulis puisi.
             
GOD’S WORLD
            O world, I cannot hold thee close enough!
                        Thy winds, thy wide gray skies!
                        Thy mists, that roll and rise!
            Thy woods, this autumn day, that ache and sag
            And all but cry with colour! That gaunt crag
            To crush! To lift the lean of that black bluff!
            World, World, I cannot get thee close enough!
            Long have I known a glory in it all,
                        But never knew I this:
                        Here such a passion is
            As stretch me apart, -Lord, I do fear
            Thou’st made the world took beautiful this year;
            My soul is all but out of me, -let fall
            No burning leaf; prithee, let no bird call
            -Edna St. Vincent Millay
                                                                                             (ibid, 126-127)
Dari puisi yang ditulis oleh Millay, bisa diketahui bahwa Millay menggunakan majas Personifikasi dengan mengajaknya berbicara seperti menganggap dunia seperti manusia, “O world, I cannot hold thee close enough!”. Millay menyatakan bahwa dia merasa tidak mampu menggapai dunia dan hampir terengah-engah dalam pemujaannya terhadap alam.
Dari bahasa puisi ‘God’s World’ karangan Millay, nampak adanya kata-kata yang tertulis merupakan ciri-ciri bahasa perempuan. Bentuk bahasa yang digunakan Millay adalah bahasa baku, lebih banyak kata yang tertulis dengan kalimat panjang. Begitu pula penggunaan kata sifat seperti beautiful, serta warna seperti wide gray skies, black bluff. Adanya penghindaran kata umpatan pun terlihat pada bahasa puisi tersebut yang digantikan dengan kata o world, Lord sebagai permohonan bahwa ada zat yang kebih tinggi di atas segalanya. Begitu pula tanda seru dalam puisi jelas terlihat adanya ciri-ciri bahasa perempuan yang rising intonation, misalnya:
O world, I cannot hold thee close enough!
                        Thy winds, thy wide gray skies!
                        And all but cry with colour! That gaunt crag
            To crush! To lift the lean of that black bluff!
            World, World, I cannot get thee close enough!
            Thy mists, that roll and rise!

  Pada puisi berikutnya, Walter de la Mare melihat alam dari sudut yang berbeda, membandingkan ketidakmampuannya melihat kekuatan yang besar di belakang alam semesta terhadap ketidakmampuannya melihat makhluk yang semakin berkurang.

ALL BUT BLIND

               All but blind
                    in his chambered hole
               Gropes for worms
                    the four-clawed mole.
                All but blind
                     in the evening sky
                The hooded bat
                     Twirls softly by.
                 All but blind
                      in the burning day
                 The barn-owl blunders
                       on his way.
                 And blind as are
                      these three to me
                 So, blind to Some One
                      I must be.
                            — Walter de la Mare (ibid, 127)    
Dari puisi yang ditulis oleh Walter de la Mare, bisa diketahui bahwa Walter de la Mare menggunakan majas metafora dengan membandingkan suatu hal tanpa imbuhan kata like atau as, “blind as are these three to me”. Walter de la Mare menyatakan bahwa dia menganggap bahwa ketika blind tersebut adalah dirinya. Terdapat hasil ciptaan Tuhan yang tidak nampak sehingga membuat manusia itu seakan-akan buta. Hal tersebut merupakan suatu keabadian dalam hidup.
Dari bahasa puisi ‘All But Blind” karangan Walter de la Mare, kata-kata yang dipakai diungkapkan secara langsung tanpa bertele-tele. Bentuk bahasa yang digunakan Walter de la Mare pun singkat dan mengena. Tidak adanya penggunaan ungkapan warna dan tidak adanya luapan emosi yang berlebihan, namun ungkapan yang mengena pada titik langsung. Intonasi tinggi yang ditandai dengan tanda seru pun tidak terdapat pada puisi ini seperti yang ada pada puisi perempuan yang diwakili oleh Edna St. Vincent Millay dalam puisinya God’s World.

Dari dua puisi tersebut diatas, perlu kiranya juga diberikan dua puisi dengan topik yang berbeda untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang perbedaan gender dalam bahasa yang diungkapkan melalui puisi dengan topik yang berbeda dengan dua puisi sebelumnya. Berikut ini adalah puisi yang berjudul ”How do I love thee?” karya Elizabeth Barret Browning dan “A red, red rose” karya Robert Burns. Dua puisi ini bertemakan tentang cinta. Yaitu cinta remaja yang diungkapkan melalui puisi.
Dalam puisi “How do I love thee?,” Browning menulis tentang kekuatan cinta yang mempengaruhi perasannya. Pengaruh tersebut tampak pada cara penghitungannya akan cinta dengan melakukan pengandaian.

HOW DO I LOVE THEE?

            How do I love thee? Let me count the ways.
            I love thee to the depth and breadth and height
            My soul can reach, when feeling out of sight
            For the ends of Being and Ideal Grace.
            I love thee to the level of everyday’s
Most quiet  need, by sun and candlelight.
I love thee freely, as men strive for Right;
I love thee purely, as they turn from praise.
I love thee with the passion put to use
In my old griefs, and with my childhood’s faith.
I love thee with a love I seemed to lose
With my lost sains –I love thee with the breath,
Smiles, tears, of all my life! –and, if God choose,
I shall but love thee better after death.
-Elizabeth Barret Brownning
(ibid, 79-80)
Puisi “How Do I Love Thee” adalah puisi yang ditulis oleh pengarang perempuan yang bernama Elizabeth Barret Browning. Dari puisi yang ditulis oleh Browning, bisa diketahui bahwa Browning menggunakan majas metafora dengan membandingkan suatu hal tanpa imbuhan like atau as, “I love thee to the depth and breadth and height”. Dengan kata lain Browning membandingkan sesuatu hal secara tidak langsung yang merupakan salah satu ciri-ciri bahasa perempuan. Browning menyatakan bahwa dia menganggap cintanya sangatlah dalam. Padahal penggunaan kata sebenarnya dari depth, breadth, dan height (dalam, luas, dan tinggi) cocok digunakan pada kata yang mengisyaratkan tempat, yaitu tempat yang dalam, luas, dan tinggi. Namun, Browning menggunakan kata-kata tersebut sebagai ungkapan keindahan puisi dalam majas. Selain itu majas metafora juga tampak pada “I love thee to the level of everyday’s.” Penggunaan kata level adalah untuk pengukuran dalam arti yang sebenarnya dengan ditandai oleh angka. Namun dalam puisi ini kata level diungkapkan untuk mengukur rasa cinta. “I love thee with the breath” menggunakan majas metafora dengan menganggap bahwa love (cinta) beriringan dengan breath (nafas). Padahal keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali sehingga kesannya tampak berlebihan. Namun dalam puisi justru perbandingan itu membuat puisi menjadi indah.
Dari bahasa puisi “How Do I Love Thee” karangan Browning, nampak adanya kata-kata yang tertulis merupakan ciri-ciri bahasa wanita. Bentuk bahasa yang digunakan Browning adalah bahasa baku, lebih banyak kata yang tertulis dengan kalimat panjang dan terlalu berlebihan. Begitu pula penggunaan kata sifat seperti depth, breadth, height, and passion. Adanya tanda seru dalam puisi jelas terlihat sebagai tanda rising intonation yang merupakan ciri-ciri bahasa wanita pada kalimat “I love thee with the breath, smiles, tears, of all my life!”. Kata seru tersebut mengindikasikan intonasi tinggi dalam puisi pada kata-kata bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan nafas, senyum, air mata, segenap hiduku! Cinta Elizabeth Browning sangatlah dalam seakan menantang waktu.

  Pada puisi berikutnya, Robert Burns melihat cinta dari sudut yang berbeda, membandingkan cintanya kepada seorang gadis seperti mawar merah.

A RED, RED ROSE
            O, my love is like a red, red rose,
                        That’s newly sprung in June.
            O, my love is like the melody
                        That’s sweetly played in tune.
            As fair art thou, my bonnie lass,
                        So deep in love am I,
            And I will love thee still, my dear,
                        Till all the seas go dry.
            Till all the seas go dry, my dear,
                        While the sands of life shall run.
            And fare thee well, my only love,
                        And fare thee well awhile!
            And I will come again, my love,
                        Though it were ten thousand mile!
-Robert Burns

Dari puisi yang ditulis oleh Robert Burns, bisa diketahui bahwa Robert Burns menggunakan majas metafora dengan membandingkan suatu hal tanpa imbuhan kata like atau as, “my love is like a red, red rose,/That’s newly sprung in June. Walter de la Mare menyatakan bahwa dia menganggap cintanya pada kekasihnya seperti bunga mawar merah yang bersemi di bulan Juni Hal tersebut merupakan suatu keabadian dalam hidup. Kemudian, dia menambahkan puisinya dengan majas simile pada baris berikutnya, “O, my love is like the melody.” Dia memberikan perbandingan suatu hal dengan yang lain, bahwa cintanya seperti melodi.
Dari bahasa puisi ‘A Red, Red Rose” karangan Robert Burns, kata-kata yang dipakai diungkapkan secara langsung tanpa bertele-tele artinya tidak adanya hal yang berarti sama. Bentuk bahasa yang digunakan Walter de la Mare pun singkat dan mengena. Tidak adanya penggunaan ungkapan warna dan tidak adanya luapan emosi yang berlebihan, namun ungkapan yang mengena pada titik langsung. Intonasi tinggi yang ditandai dengan tanda seru pada puisi ini hanya merupakan suatu penekanan (bukan luapan emosi) saja akan kalimat penting yang ingin disampaikan pada kekasihnya, ”And the rocks melt with the sun!” Penekanan pada kalimat ini berarti bahwa dia mencintai kekasihnya sampai kapanpun seolah-olah walaupun laut kering dan batu meleleh karena matahari selakipun, cintanya tidak akan berubah. Begitu pula pada kalimat, ”And fare thee well awhile!”


IV. Penutup
            Bahasa sebagai alat komunikasi sangat diperlukan manusia sebagai penghubung antara manusia satu dengan manusia lainnya. Bahasa merupakan ungkapan ekspresi manusia, ide, perasaan, dan emosi seseorang. Seperti halnya di dalam puisi merupakan salah satu wahana yang digunakan seseorang sebagai luapan emosi atau ekspresi yang diungkapkan seseorang lewat kata-kata. Kata-kata yang dipakai dalam puisi pun bahasanya dipadatkan, dipersingkat, dengan irama yang indah. begitu juga dengan pemilihan kata-kata atau diksi yang padu dan terkesan imajinatif. Maka dari itu, puisi tidak luput dari majas yang mempengaruhinya. terdapat tiga majas yang dipakai dalam puisi, diantaranya silile, metafora, dan personifikasi.
 Salah satu hal yang memengaruhi penggunaan bahasa manusia adalah aspek gender. Perempuan memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan ekspresinya, begitu juga laki-laki. perempuan memiliki ciri-ciri bahasa yang berbeda dengan bahasa yang diungkapklan okleh laki-laki. Untuk lebih memahaminya digunakan analisis terhadap empat puisi yang ditulis oleh penyair-penyair perempuan dan laki-laki. Empat puisi dengan masing-masing dua tema yang sama yaitu tema Personal Belief (kepercayaan pribadi) dengam judul puisi God’s World oleh Edna St. Vincent (penyair perempuan dan puisi All but Blind oleh Walter de la Mare (penyair laki-laki); dan tema Young people (pemuda-pemudi) dengan judul puisi How Do i Love Thee? oleh Elizabeth Barret Browning dan puisi A Red, Red Rose oleh Robert Burns.
Dari analisis empat puisi dengan dua tema dapat diketahui bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh perempuan penyair dan laki-laki penyair berbeda. Perempuan penyair mengungkapkan ekspresinya dengan kalimat panjang sehingga terkesan berlebihan. Sedangkan laki-laki penyair mengungkapkan ekspresinya dengan apa adanya dan tidak bertele-tele.
Penyair perempuan, seperti yang diwakili oleh Edna St Vincent Millay “God’s World” dan Elizabeth Barret Browning ”How Do I Love Thee?”, menggunakan bentuk bahasa yang baku dengan bentuk kata-kata yang panjang. Begitu juga dengan penggunaan kata-kata sifat. Adanya penghindaran kata umpatan juga terlihat di dalam puisi Millay sehingga digantikan oleh kata o world, dan Lord. Terakhir pada penanda kata seru yang menyatakan rising intonation.
Kedua penyair laki-laki Walter de la Mare ”All but Blind” dan Robert Burns ”A Red, Red Rose” tidak menunjukkan ciri-ciri bahasa seperti yang ada pada penyair perempuan. Seperti puisi yang ditulis oleh Walter de la Mare ”All bit ”blind”dan Robert Burns ”A Red, Red Rose” kata-kata yang dipakai diungkapkan secara langsung, tidak bertele-tele. Bentuk bahasa pun singkat dan mengena. Tidak terdapat ungkapan warna dan tidak terdapat luapan emosi yang berlebihan, namun ungkapan yang mengena pada titik langsung. Begitu pula tidak terdapat intonasi tinggi yang ditandai kata seru seperti yang ada pada puisi yang ditulis oleh penyair perempuan. Intonasi tinggi yang ditandai dengan kata seru pada puisi Robert Burns hanya sebagai penekanan pada kata-kata bukan merupakan intonasi tinggi.




                                            














DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo Offset.
Coates, Jennifer. 1986. Woman, Man, And Language: A Sociolinguistic Account Of Sex And Differences In Language. New York: Longman Inc.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
Kirkpatrick, Laurence. A & William W. Goodfellow. 1968. Poetry with Pleasure.  New York: Charles Scribner`s Sons.
Poynton, Cate. 1989. Language and Gender Making The Difference. Editor Frances Cristie. Oxford: Penerbit dan Percetakan Oxford.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wuryaningrum, Rusdhianti. 2004. Ekspresi Emotif Dalam Dialek Using: Analisis Gender. Tesis. Unesa Surabaya. Tidak Diterbitkan.






APAKAH “PERBEDAAN RAGAM BAHASA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM PUISI” MERUPAKAN KAJIAN SOSIOLINGUISTIK?


Sosiolinguistik merupakan salah satu kajian linguistik yang membahas segala aspek sosial yang memengaruhi bahasa manusia. Setiap manusia memiliki karakteristik dalam berbahasa sehingga  manusia satu berbeda dengan manusia yang lain. Manusia menggunakan bahasa sebagai media dalam mengungkapkan pikirannya. Bahasa merupakan alat untuk merepresentasikan perasaan atau emosi yang terdapat dalam dirinya dan ide sebagai hasil proses berpikir. Seseorang yang berpikir akan menuangkan hasil pemikirannya itu dalam bahasa. Begitu pula penyair ketika hendak menyampaikan idenya, mereka mengungkapkan idenya dan menuangkan ke dalam bentuk karya sastra salah satunya yang berbentuk puisi dengan cara yang berbeda-beda.
Bahasa memiliki ragam. Ragam bahasa terbentuk berdasarkan latar belakang sosiokultural. Salah satu ragam bahasa yang berlatar belakang sosiokultural adalah ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, ragam bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan berbeda.
Perbedaan ragam bahasa perempuan dan laki-laki dapat dikenali lewat pemilihan kata yang mereka gunakan dalam mengungkapkan idenya. Perempuan cenderung menggunakan kata-kata sifat, bentuk baku, dan intonasi tinggi dalam bahasanya. Sedangkan ciri-ciri bahasa laki-laki Sejalan dengan fokus penelitian makalah ini yang membedakan ragam bahasa perempuan penyair dan laki-laki penyair, maka bahasa yang digunakan yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki sesungguhnya adalah berbeda. Perbedaan itulah yang mendasari adanya perbedaan gender. Dengan demikian makalah ini bisa dikategorikan sebagai kajian sosiolinguistik.  










 

Komentar

Postingan Populer